Edisi, Mei 2025
"Tangisan Dalam Diam: Suara Seorang Anak
Bangsa"
Di sudut sebuah desa kecil, di balik jendela
reyot rumahnya, seorang anak bangsa duduk termenung. Matanya menatap kosong ke
langit, seakan menanti keajaiban yang tak kunjung datang. Hatinya pedih, bukan
karena lapar, tapi karena menyaksikan negerinya tercabik oleh kepentingan yang
bukan milik rakyatnya.
Ia tumbuh dengan mimpi besar, bercita-cita
ingin menjadi manusia yang berguna bagi tanah kelahirannya. Tapi hari ini,
mimpinya terasa begitu jauh. Ia melihat bagaimana para pejabat, yang seharusnya
menjadi pelayan rakyat, justru sibuk membangun menara untuk kepentingan pribadi
dan kelompoknya. Mereka lupa akan sumpah jabatan. Mereka lupa bahwa kursi itu
milik rakyat, bukan warisan keluarga atau partai.
Lebih menyakitkan lagi, ia menyaksikan
teman-teman sebayanya—anak-anak yang katanya tulang punggung bangsa—harus
menghentikan langkahnya di gerbang sekolah. Bukan karena tak ingin belajar,
tapi karena tak ada uang untuk membayar seragam atau membeli buku. Subsidi
pendidikan dan beasiswa yang seharusnya menjadi penyambung harapan, justru
jatuh ke tangan anak-anak pejabat dan mereka yang sudah berkecukupan. Tak ada
sosialisasi, tak ada pendampingan bagi masyarakat bawah. Seolah mimpi hanya
milik mereka yang punya kuasa.
Ia juga menyaksikan bagaimana para pejabat
daerah saling bertikai dengan pemerintah pusat. Bukan karena perbedaan visi
rakyat, tapi karena ego politik dan loyalitas kelompok yang sempit.
Program-program penting tertahan, pembangunan tersendat, dan rakyat jadi korban
utama dari drama kekuasaan.
Di parlemen, wakil-wakil rakyat yang dulu
disambut sorak sorai saat kampanye, kini bagai hantu tanpa suara. Mereka lupa
akan janji-janji, sibuk mencari aman dalam zona kekuasaan, dan perlahan-lahan
menjauh dari suara rakyat yang dulu mengangkat mereka.
Dan di jalanan, anak bangsa ini melihat semakin
banyak tindak kriminal yang dibiarkan. Kejahatan tumbuh seperti jamur, seolah
ada ruang untuk mereka berkembang. Rakyat ketakutan, enggan keluar rumah malam
hari, dan kehilangan rasa percaya pada institusi yang katanya berwenang
melindungi.
Birokrasi pun tidak lebih baik. Para pegawai
negeri di tingkatan bawah lebih percaya pada laporan di atas kertas
dibandingkan realita di lapangan. Data demi data dikirim ke atas tanpa pernah
benar-benar menyentuh tanah. Akibatnya, kebijakan yang lahir justru meleset
dari kebutuhan rakyat sejati.
Anak bangsa itu terdiam. Ia tak ingin menyerah,
tapi hari ini ia menangis—bukan karena lemah, tapi karena cinta yang terlukai.
Cinta pada negeri yang dulu ia banggakan, yang kini terasa jauh dari cita-cita
para pendirinya.
Namun di tengah kesedihan itu, ia masih
menyimpan nyala kecil dalam dadanya. Nyala harapan bahwa kelak, akan lahir
pemimpin yang benar-benar memihak rakyat. Bahwa akan ada hari di mana keadilan
bukan hanya cerita di buku, tapi nyata di tiap sudut negeri.
Dan hingga hari itu datang, ia akan tetap
bermimpi… meski dalam diam.